Aku bosan.
Capek.
Lelah.
Ingin Muntah!
Dan segala rasa itu yang membuatku akhirnya kabur dari rumah. Cuma membawa jaket dan motorku.
Aku bahkan menepis tangan Mbok Yati, wanita separo baya yang telah mengabdikan dirinya kepada kami, orang serumah. Yang kasihnya lebih banyak kurasakan daripada belaian tangan mamaku sendiri. Atau tatapan hangat yang tak pernah dari mata lelaki yang kusebut Papa.
Bagiku … mereka berdua orang-orang yang tak punya hati. Atau mungkin punya, tetapi telah mati!? Dan omongan mereka? Kuanggap sebagai omongan orang mati yang tak punya nilai. Tak tahukah mereka orang mati itu tak bicara? Jadi…aku pergi, dengan mulut terkunci. Karena, kecuali Mbok Yati, tidak ada orang dirumah yang cukup pantas kupamiti.
Sepanjang jalan kularikan motor dengan kecepatan tinggi. Rambut bahuku berkibar ditiup angin. Aku terus memacu kendaraanku. Bagai tak punya titik henti. Membawa hatiku yang setengahnya telah ikut mati.
Lampu-lampu jalanan yang indah, angin malam yang bertiup, hawa dingin yang kurasakan, pemandangan Jakarta di waktu malam sama sekali tak mengusik nuansa keindahan di hatiku. Rasa marah yang sangat, membuatku menggila. Kularikan motor lebih kencang.
Dimataku terbayang pengkhianatan Mama dan perselingkuhan Papa! Betapa mereka telah kehilangan malu. Betapa keduanya telah membawa keluarga kami pada kehancuran!
Hatiku terasa kian panas. Motor terus kularikan kencang. Aku baru berhenti ketika selintas aku merasa telah menabrak sesuatu. Kuparkirkan motor kepinggir jalan.
Benar saja, sepuluh meter di belakangku, seorang bocah lelaki berusia sekitar delapan tahunan tampak tergeletak di jalan, penuh darah.
Tuhanku!?
Wajah anak itu pucat......
***
Lorong rumah sakit tampak lengang. Hanya satu dua perawat lalu-lalang. Dan di sekitarku tampak sepi.
Fuiiih! Aku menarik napas panjang. Mudah-mudahan anak itu tidak apa-apa.
Aku masih tidak mengerti, bagaimana anak kecil itu bisa menyeberang jalan tanpa terlihat olehku. Atau …. Saat itu aku terlalu sibuk dengan kebencian yang meluap-luap dan tak melihat jalan dengan jelas? Lagi pula, apa yang dilakukan anak sekecil itu di jalan malam-malam begini?
Jujur, tadinya aku akan melarikan diri pada saat itu juga, mumpung tidak ada orang. Papa dan Mama selama ini tak pernah mengajariku arti nurani, dan hal-hal yang berbau kemanusiaan. Namun, entahlah, saat melihat mata bening bocah lelaki yang menyiratkan kesakitan itu, ada sesuatu yang menyelusupi batinku. Gabungan antara rasa iba dan bersalah. Nuranikah itu? Aku tak tahu. Akan tetapi, bisa dipastikan, hal itulah yang membuatku membawanya ke rumah sakit terdekat.
Kulihat dokter yang memeriksa anak itu sudah keluar dari ruangan darurat.
"Bagaiman, Dok?"
"Anda siapa?"
Pertanyaan dokter itu membuatku terdiam. Dan rasa itu kembali mendorong-dorong batinku. Aku harus mengaku.
"Saya … saya yang menabraknya, Dok."
Dokter itu mengangguk-angguk.
"Untunglah, Cuma luka luar. Kelihatannya tidak ada yang parah. Untuk memastikan, sebaiknya malam ini anak itu tetap di sini, untuk diobservasi, jadi bisa cepat diketahui jika ada pendarahan di otak atau gegar."
"Baiklah."
Dan malam itu aku menginap di rumah sakit. Menunggui anak, yang bahkan, tak ketahui namanya.
Asing. Mula-mula itulah yang kurasakan.
Tetapi, ketika kami saling berkenalan dan menyapa, perasaan itu berganti berkenalan dan menyapa, perasaan itu berganti keakraban. Di mataku, anak itu meninggalkan kesan yang mendalam. Terutama ucapan pertamanya yang tak akan pernah kulupa …
"Terima kasih ya, Kak!?"
Terima kasih? Bagaimana dia bisa berterima kasih kepada orang yang menabraknya?
Obrolan lain pun mengalir. Dengan bahasanya yang polos, tetapi sopan, ia bercerita tentang Ibu dan kedua adiknya yang masih kecil, juga hal-hal lain.
Dan waktu bergulir tak terasa, setiap aku bersamanya.
Pertemuan kami tak terhenti setelah malam itu. Aku yang dalam pelarian, menyempatkan diri untuk menemuinya setiap hari. Kadang
Di sekolahnya, kadang di stasiun tempat ia biasa menjual Koran. Didi nama anak itu. Simple dan mudah diingat.
Ada hal menarik yang selalu dan selalu Didi ceritakan. Tentang ibunya. Semula kukira ia berbohong, tetapi lama-kelamaan, kemudian hatiku berangsur mempercayaiku.
Seperti saat ini, aku menemaninya menjajakan Koran. Lalu tiba-tiba ia bertanya kepadaku.
"Kak Iwan suka burger?"
Aku tersenyum. Aneh mendengar pertanyanya, tetapi kuanggukkan juga kepalaku.
"Kalau begitu Kak Iwan harus ke rumah," ujarnya dengan mata berbinar.
"Kenapa?"
"Karena …. Tak ada burger seenak burger buatan Ibu!"
Ahh… betulkah? Seperti apa ibunya Didi?
Beberapa hari yang lalu Didi bercerita padaku tentang pizza yang sesekali dibuat ibu untuknya dan kedua adiknya yang masih kecil. Dan sekarang burger?
Melihat mataku yang tak percaya, Didi menggangguk meyakinkan.
"Pokoknya kalau sudah coba burger ibu, kak Iwan pasti ketagihan. Dan nggak perlu beli burger lagi di tempat yang mahal."
Ooh … mulutku membulat. Kelihatannya keluarga Didi sangat sederhana, bahkan cenderung miskin. Tanpa ayah pula. Karena, ayah Didi sudah meninggal saat ibunya bisa membuat makanan yang tak dapat digolongkan murah itu? Roti untuk burger dan pizza cukup mahal di supermarket. Belum lagi keju, daging isi, atau sosis yang ditabur di atas pizza. Rasa-rasanya mustahil!
Akan tetapi, cerita Didi yang terus menerus membuatku penasaran juga. Dan semakin ingin tahu lebih banyak tentang keluarga anak itu.
"Ibu kerja apa, Di?" tanyaku padanya suatu hari.
"Jualan kecil-kecilan, Kak. Pisang goring, tempe goring, tahu goring, dan bakwan. Biasanya dititipkan ke warungnya mpok Idah. Terus Ibu juga terima cuci setrika."
Aku meneguk ludah. Pahitnya kehidupan yang dijalankan Didi tak pernah kurasakan. Papa dan Mama sangat menyervisku untuk urusan duit. Usia dua belas tahun saja aku sudah mengantongi kartu kredit, yang bebas kugunakan. Lalu handphone, satu set home theatre yang bertengger di kamarku, mobil, dan motor hardley. Tetapi, kenapa aku tak merasa lebih bahagia dari Didi? Padahal secara materi, aku tak pernah tahu apa itu arti kekurangan.
Barangkali benar, bahwa materi tak berarti segalanya! Sering malah, materi melahirkan anak-anak brengsek seperti aku!
Berbeda dengan Didi … Anak itu miskin. Sikap dan sopan santunnya luar biasa. Anak itu bahkan tak pernah mau menerima uangku secara cuma-cuma!
"Di … kapan-kapan ajak Kak Iwan ke rumah, ya? Boleh nggak?"
Didi tertawa lebar.
"Oke deh, Kak! Nanti, sebelumnya, Didi akan bilang ke Ibu, biar membuatkan burger atau pizza untuk kak Iwan. Eh, mana yang lebih kakak sukai?"
Aku kini yang tertawa. Makanan itu tak kan menarik minatku. Makanan itu sudah terlalu sering melewati tenggorakan ini. Untuk menyenangkan anak itu, kuanggukan kepala.
"Terserah yang mana saja. Tapi, jangan bilang-bilang Ibu kalau kak Iwan mau datang. Nanti merepotkan!"
Didi mengangguk. Kami pun berpisah.
Aku kembali pada hunianku, rumah kos yang baru-baru ini kusewa. Malam yang kuhabiskan dengan minuman keras hingga aku puas dan tertidur. Dalam mimpiku, aku melihat Didi menikmati burgernya. Lahap sekali!
Pada kenyataannya, kesempatan untuk berkunjung kerumah Didi tak segera muncul. Aku sendiri sibuk dengan hidupku. Hingga beberapa minggu kami tak bertemu.
"Kak Iwan!" suara khas Didi mampir ketelingaku saat itu aku berada di depan sebuah supermarket, akan membeli beberapa keperluan. Kulihat Didi melambaikan tangannya riang.
"Kok, lama nggak kelihatan,kak?"
Aku hanya memandangi mata beningnya. Tak sanggup untuk mengatakan hari-hariku sibuk dengan ketidaksadaran, pengaruh minuman keras dan ekstasi. Sebaliknya, aku cuma menjawab pendek.
"Kakak sibuk, Di! Kamu nggak sekolah?" aku mengalihkan percakapan, sambil mengamit tangannya menemaniku masuk kedalam supermarket.
"Lagi libur, kak."
Dahiku berkerut. Libur? Rasanya belum lama musim liburan.
"Yang bener kamu?"
Didi tertawa,"Diliburkan sama pak Guru," katanya.
"Kenapa?" tanyaku lagi,bloon.
Didi tak menatap mataku. Kedua matanya memandang takjub barang-barang yang tertata di sepanjang supermarket. Lalu menjawab sambil lalu,
"Biasa kak….soal SPP."
"Berapa bulan, Di?" Tiba-tiba saja aku ingin tahu.
Didi menjawab setengah berbisik.
"Empat." Lalu buru-buru disambungnya,
"Minggu depan mungkin Didi bisa masuk lagi, Kak. Sudah biasa begini. Uangnya, sebetulnya, sudah ada di tabungan Didi. Terus kepakai karena Ayu sakit."
Ahh … begitu. Ayu adalah nama adik Didi yang berusia dua tahun. Mendadak aku merasa bertanggung jawab pada anak itu. Diam diam aku menyesali diri. Coba kalau aku nggak asyik mabuk dan teler. Mungkin Didi tak perlu diskors dari sekolah beberapa hari ini.
"kak Iwan lihat itu, nggak?" tunjuk Didi tiba-tiba.
Aku mengikuti telunjuknya. Mataku menangkap sebuah produk shampoo terkenal untuk anak-anak.
"He, eh…, kenapa?"
"Dua hari yang lalu, Dek Ika minta ke Ibu untuk dibelikan itu." Didi menyebut nama adiknya satu lagi yang lebih besar."Dan hari ini, Didi juga keramas pakai itu. Cium aja rambut Didi. Wangi, kan?"
Kulihat harga tertera di sana. Dalam kemasan botol kecil harganya mencapai empat belas ribu rupiah! Tiba-tiba aku merasa kalau Ibu Didi tidak bijak. Masa ia bisa membeli shampoo semahal itu, sementara menelantarkan bayaran sekolah Didi?
Akan tetapi, pikiranku berubah saat wajahku kudekatkan ke kepala Didi. Tak ada wangi shampoo mahal yang ditunjukkan Didi. Tidak juga wangi shampoo lain. Yang kucium cuma aroma sabun mandi biasa.
Mataku bertatapan dengan mata riangnya. Mengertilah aku, apa yang terjadi. Hatiku bergetar. Tanganku hampir saja meraih shampoo yang ditunjuk Didi dalam botol besar itu. Aku begitu ingin bisa menghadiahkan pada bocah lugu itu, dan adik-adiknya. Namun, pemikiran lain melintas.
Tindakanku bisa membuat Didi mengetahui apa yang telah dilakukan ibunya. Dan kuputuskan untuk tak membongkar kebohongan yang telah dilakukan wanita itu, memalsukan isi botol shampoo itu dengan air sabun! Ibu Didi pasti punya alasan sendiri!
Sebaliknya kuraih beberapa snack dan kaleng susu ke dalam kereta dorongku, tanpa bertanya padanya. Karena aku tahu, Didi akan menolak seperti biasanya. Kubayar belanjaanku di kasir. Didi melongo melihat jumlah yang harus kubayarkan. Bisa jadi ia tak percaya, aku yang terlihat kumal ini mampu membayar sejumlah itu.
Aku Cuma tersenyum. Kuraih bahunya pelan,
"Kuantar pulang ya, Di!"
Dan kami pun berboncengan, melintasi siang yang terasa terik. Melewati beberapa ruas jalan menuju rumah Didi. Dari kaca spion kulihat wajah Didi yang cerah. Senyum bangga terkembang di sana. Ia tampak senang sekali kubonceng. Lagi-lagi hatiku perih.
Setalah melewati jalan-jalan besar, motor kami mulai meliuk dari gang ke gang. Mataku merayapi rumah-rumah petak yang berdempetan rapat. Bocah-bocah kecil bertelanjang dada berlarian. Sebagian mengejar-ngejar layangan yang putus. Sebagian lagi mungkin bermain petak umpet atau permainan lain. Beberapa wajah kecil kulihat belepotan ingus dan debu.
Di sebuah rumah kecil yang terletak diujung, aku memarkirkan motor. Sekali lompat, Didi sudah turun dari motorku dan menghambur kedalam. Aku mematikan mesin. Memandang rumah kecil yang jauh dari layak untuk standar kesehatan.
Kesan itu bertambah kuat saat aku melangkah masuk ke dalam. Lantainya masih beralas tanah, sepertinya rumah ini hanya terdiri dari dua ruangan yang dipisahkan selembar gorden kumal. Tak ada jendela. Cuma ventilasi sempit yang memungkinkan pergantian udara seadanya.
Aku mengamati isi rumah yang bisa dihitung. Tiga buah kursi yang agak reyot diruang tamu. Lalu satu dua foto yang tergantung di dinding sebuah rak bambu tampak penuh dengan buku-buku pelajaran. Barangkali milik Didi. Di atas meja kayu dialasi taplak batik yang sudah lusuh, namun bersih. Sebuah vas bunga sederhana tampak begitu pucat menghias diatasnya. Tampak jelas, barang itu sudah bertahun-tahun menjadi bagian dari rumah ini.
"Ibu…ini Kak Iwan!"
Didi keluar bersama dengan seorang wanita yang kutaksir berusia empat puluh puluhan, atau mungkin kurang. Menilik usia Didi yang baru delapan tahun, seharusnya wanita itu berusia lebih muda. Tapi, entahlah…bisa jadi kemiskinan yang selalu akrab dengan keluarga ini, dan beban ekonomi yang harus ditanggung di pundak wanita itu, membuat penampilannya kelihatan jauh lebih tua.
Aku mencoba mengangguk sopan.
"Saya Iwan, Bu!"
Wanita itu tersenyum ramah meski kelihatan agak rikuh menerima kehadiranku.
Kuulurkan satu plastik oleh-oleh yang tadi kubeli untuk Didi dan adik-adiknya. Meski ragu, Ibu itu menerima juga bingkisan yang kubawa.
Suaranya terdengar agak bergetar.
"Makasih banyak… tapi seharusnya tidak usah repot-repot, mau minum apa?" ujarnya sambil beranjak ke belakang.
"Nggak usah repot - repot, Bu …"
Kulihat Didi mengejar Ibunya. Lalu suaranya setengah berbisik terdengar di telingaku.
"Kak Iwan pengen cobain burger buatan Ibu."
Lalu sambil menatap kearahku, Didi menambahkan dengan senyum kocaknya,"Didi bilang burger Ibu paling enak. Jadi kalau Kak Iwan besok-besok kepengen burger, nggak usah ke restoran yang mahal-mahal. Iya kan, Bu?"
Aku menyambut senyum Didi. Sebaliknya, Ibu Didi malah tampak pucat. "Burger apa? Aduh … Didi bisa saja!" katanya.
"Tapi … Didi lihat masih ada di belakang, Bu! Tinggal dipanaskan. Masa Kak Iwan nggak boleh mencicipi burger kita?" Didi keras kepala.
Aku mencoba menetralisir keadaan, tetapi Didi keburu berlari ke belakang."Biar Didi yang siapkan ya, Bu?" ujar bocah itu tanpa minta persetujuan. Kalimat Didi membuat Ibunya tergopoh-gopoh mengejar langkah anak sulungnya itu.
"Sebentar ya, Kak Iwan!" ujarnya dengan pandangan penuh permintaan maaf.
Aku mengangguk, menyilakannya. Untuk berapa lama, kesendirian kembali mengakrabiku. Kuamati lagi kesederhanaan tempat ini. Mataku mendadak berpapasan dengan dua wajah mungil mengintip dari balik gorden.
Aku mengembangkan senyum lebar, sambil berharap penampilanku yang gondrong dan rada acak-acakan ini tak membuat mereka berdua takut.
"Ika sama Ayu, ya?" sapaku ramah.
Kedua anak perempuan itu mengangguk tersipu. Mereka saling tukar senyum dan main dorong-dorongan. Mungkin ingin keluar, tetapi ragu.
"Sini" panggilku lagi
Langkah-langkah kecil itu kini kian mendekat. Sekarang aku bisa menatapi keduanya dengan lebih bebas. Wajah mereka bersih. Mungkin baru selesai mandi. Ada bekas sapuan bedak yang kurang rata disana.
Ayu dan Ika hanya mengenakan celana pendek dan kaos singlet yang sudah pudar warnanya. Kaki-kaki mereka yang telanjang tanpa alas kaki menapak dengan riang. Seperti tak ada keengganan bersentuhan langsung dengan lantai tanah yang kasar dan dingin.
"Nah, ini burger dan pizza buatan Ibu."
Sekonyong-konyong suara Didi terdengar. Anak itu muncul dengan sebuah piring di tangannya. Ibu Didi yang terlihat salah tingkah menikutinya dari belakang.
Ayu dan Ika langsung menghambur riang mendekati isi di atasnya dengan mata berbinar.
Beberapa saat aku menatap isi piring di meja tamu dengan perasaan yang sulit kuutarakan.
Segala kemewahan di rumahku, kolam renang, berbagai perabotan luks dan makanan enak-enak yang biasa kusantap bagaikan paradoks dengan apa yang kusaksikan sekarang. Di atas meja tidak ada pizza yang biasa kumakan. Tidak juga burger ala restoran manapun yang sering kutemui.
Yang disebut pizza oleh Didi Cuma mie bercampur telur yang diaduk dan digoreng, lalu ditaburi irisan tomat dan bawang goreng di atasnya. Sementara burger yang selama ini dibanggakan Didi, terbuat dari roti bundar biasa berisi mocca murahan, yang isinya telah dikerat habis. Didalamnya diisi dengan sayuran–entah bayam atau kangkung–dan potongan tempe kecil-kecil yang digoreng agak hangus sehingga menyerupai daging burger. Di sebelah piring, tergeletak bungkusan kecil saus dan sambel sebagai pelengkap.
"Ayo dong, Kak Iwan, dicobain! Nanti keburu dihabisin sama Ika dan Ayu, lho!"
Suara Didi malah membuat mataku berkaca-kaca. Terutama saat berbenturan dengan mata beningnya yang penuh dengan kebanggaan atas jamuannya, juga reaksi Ayu dan Ika yang seperti tak sabar ingin menyerbu pizza dan burger ala Ibu mereka itu.
Pandanganku kemudian menangkap sosok Ibu Didi yang bersender lemas di pojok ruangan, dengan sudut-sudut mata tergenang air. Ada sesuatu di matanya. Entah penjelasan, entah kata maaf yang mungkin ingin disampaikannya kepadanya.
Aku diam, tak perlu ada kata-kata lagi untuk menjelaskan apa yang dilakukannya. Semuanya cukup jelas. Pizza, burger, lalu shampoo yang disebutkan Didi di Supermarket tadi, cukup membuatku mengerti perjuangan wanita itu, dan semua upayanya untuk membuat anak-anaknya bahagia. Membuat mereka merasa telah menikmati kemewahan dan barang-barang mestinya cuma bisa dinikmati teman-teman mereka yang lebih mapan.
Ya, wanita itu Cuma ingin membuat ketiga anaknya tidak merasa berbeda dengan yang lain. Hingga mereka tumbuh dengan kepercayaan diri yang sama. Tanpa merasa malu, atau bahkan sempat merasakan arti kepapaan itu sendiri.
Tiba-tiba aku merasa sangat hormat kepadanya. Perasaan yang selama ini tak pernah ada untuk mama ataupun Papa. Kedua orang tua yang membawaku ke dunia ini.
Tanpa ragu, kucomot sebuah "burger", dan meraih saus serta sambal yang tersedia, lalu mulai menyantapnya dengan sepenuh perasaan.
"Ayo kita makan sama-sama, ya?"
Kusodorkan piring pada Didi dan kedua adiknya. Ketiga bocah itu langsung meraih pizza dan burger, tanpa perlu ditawari ulang. Dalam sekejap isi piring sudah hampir kosong. Kami bersama-sama melumatkan setiap burger dan pizza diatasnya.
Ibu Didi hanya memandangi kerakusan kami. Perlahan matanya yang berkaca mulai berpendar. Bahkan seulas senyum terkembang kembali.
Sambil menggigit burgerku, aku tetap memandangnya, juga ketiga permata kecil itu dengan tatapan penuh terima kasih.
Barangkali mereka tak akan pernah tahu.
Tetapi, lewat pizza dan burger mereka … lewat kesederhanaan dan ketulusan tanpa pamrih, aku seperti terlahirkan kembali. Dan membuatku lebih mengerti dan bertekad menghargai hidup yang Dia berikan. Bukan mencampakkannya, seperti yang selama ini telah kulakukan.
Pulang ke kos nanti, akan kubuang semua botol minuman keras dan ekstasi yang kumiliki. Janjinya dalam diam.
Piring sudah hampir kosong. Hanya sebuah pizza yang tersisa. Dengan bangga pula Didi menyilakanku untuk menikmatinya. Bahkan melarang kedua adiknya yang masih tampak lapar.
"Sssst! Yang ini untuk Kak Iwan! Untuk kitakan, bisa kapan saja."
Kutatap mereka lekat. Sebuah ide pun melintas. "kita adu cepat aja yuk, gimana? Yang paling cepat dia yang dapat. Bagaimana?"
Ketiga anak itu menggangguk. Akupun mulai menghitung.
"Satu..dua..tiga, yak!!!
Tangan-tangan kami berebutan. Potongan pizza terakhir diperoleh Ayu. Anak perempuan berusia dua tahun itu bangga sekali telah memenangkan kompetisi perebutan pizza.
Wajahnya tampak cerah.
"Hole!!! Ayu menang!" teriaknya cadel.
Kami semua tertawa. Dan serempak memandangi wajah Ayu yang kini celemotan dengan mie pizza, dan serpihan tomat.
Hari mulai senja. Aku masih belum beranjak dari rumah Didi. Sibuk melayani cerita dan bermain tebak-tebakan dengan mereka bertiga. Kami larut dalam gelak dan tawa. Sementara Ibu Didi menyetrika di dalam.
Saat azan asar terdengar, dengan ringan Didi meraih tanganku, dan mengajakku ke sumur belakang, mengambil wudhu, lalu kami shalat berjamaah, hanya beralaskan tikar lusuh. Ketiga anak itu memintaku mengimami mereka.
Aku menikmati setiap detik yang berlalu dalam hidup baru. Lalu tiba-tiba saja, selesai shalat, entah dari mana kudengar denting kasih memenuhi rumah ini, juga hatiku. Suaranya merdu menentramkan. Membuat senja jadi lebih indah.
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan yang ingin ngobrol atau berkomentar disini :