About

Photobucket





17 Februari, 2011

Untuk kita Renungkan - Andai Aku Boleh Memilih

Jam 24 malam saya baru tiba dirumah. Perjalanan dari Jakarta menuju Pandeglang hari itu terasa lebih panjang. Alasan apalagi kalau bukan karena kemacetan akut yang menyerang Jakarta hampir disemua ruas jalan.

Suami saya menunggu di depan teras rumah. Secangkir kopi susu hangat menemaninya menghalau dinginnya udara luar. Dia selalu begitu. Teras itu menjadi ruang favoritnya ketika malam tiba.

Kedua anak saya telah tertidur lelap di tempat tidur terpisah. Setelah mandi dan baca koran sebentar, akhirnya tiba untuk tenggelam dalam lelap dan nyenyak. Entah berapa lama terpejam, tiba-tiba terasa ada yang menarik tangan saya dengan sangat hati-hati. Kemudian tangan ini dielus dan diciuminya dengan lembut.



Saya berusaha memicingkan mata, oh, rupanya anak pertama saya Annisa (9 tahun) yang melakukannya. Saya tidak langsung bereaksi. Sengaja membiarkan ini berlanjut. Kemudian dia menempelkan tangan lembutnya kepipi saya. Dengan sangat perlahan dia berbisik: “Bu, ..ibu.bangun bu, pindah yuk, bobonya sama Nisa..”

Kami beranjak perlahan, khawatir membangunkan suami. Kemudian, saya dan Nisa tidur di bawah satu selimut besar. Dingin agak berkurang. Jam di Handphone menunjukkan pukul 02:00 dinihari. Tak sabar Nisa memulai pembicaraan.

“Bu, Nisa lagi buat gelang dan kalung dari manik-manik untuk dijual”.
“Jualannya ke mana?”
“Tadi sih muter kerumah temen-temen. Sebelumnya dijual disekolah”.
“Laku gak?”
“Ada yang laku ada yang nggak. Uang nya sudah dibelikan manik-manik lagi. Besok mau buat lagi. ”
“Yang bikin gelang dan kalungnya siapa? Nisa sendiri?”
“Bukan. Bertiga sama Teh Rifda dan Fajrin. Teh Rifda digaji 1. 000, kalau Fajrin 500. ”

Saya menahan senyum di tengah gelap. Terasa lucu mendengar kalimat terakhirnya. Entah bagaimana cara mereka bersepakat menentukan gaji dalam nilai rupiahnya. Malam itu, spesial dia membangunkan saya untuk membagi cerita serunya.

**

Saya tengah ingin melempar waktu ke beberapa tahun yang lalu. Pada suatu kesempatan berbincang dengannya, Saya mengajukan pertanyaan standar untuknya.
“Nisa punya cita-cita apa nak..?
“Nisa pengen jadi seperti ibu. Ibu jadi apa tuh sekarang? Akuntan ya? Nisa mau seperti itu, kerja dengan komputer..” serangkaian kalimat tadi lancar meluncur tanpa beban.

“Oh, iya. Kalau gitu Nisa harus rajin belajar supaya cita-citanya tercapai..”

“Iya Bu. Nanti kalau Nisa sudah kerja, kita kekantornya bareng ya. Nisa maunya satu kantor sama ibu. Ntar ibu yang ongkosin Nisa ya”

“Iya” ada tawa yang tertahan. Obrolan masih berlanjut..

“Ntar kita duduknya bareng ya Bu, Satu meja” Saya tersenyum dalam hati.
Dia berfikir dengan caranya sendiri.

Kemudian, dia melanjutkan lagi,
“Ntar kita makannya bareng, pulangnya juga bareng”

Saya tak tahan untuk segera menggodanya:
“Iya, ntar naik ojeknya juga bareng. Nisa tetap duduk di depan ya?”

Dia berfikir sebentar, kemudian menjawab:
“Wah, kayaknya nggak bisa deh bu, ntar kan badan nisa sudah gede, tukang ojeknya nanti terhalang oleh badan Nisa”

“Oh iya ya” saya manggut-manggut serius, mengiyakan argumennya. Kemudian, di tengah suasanan hati saya yang tak jelas antara gembira, haru, terenyuh dan lucu tersebut, saya mengajukan satu pertanyaan lagi untuknya.

“Kenapa Nisa ingin bekerja menjadi seperti ibu?”

Dengan kilat binar matanya yang bening dia menjawab lugas dan tuntas.

“Nisa ingin terus bersama ibu. Nisa ingin ke mana-mana bareng sama ibu. Pokoknya Nisa gak mau jauh dari ibu. Kalau Nisa bekerja seperti ibu, berarti kan Nisa bisa samaan terus dengan ibu…”

Tuhan.., itulah jawaban yang sebenarnya. Jawaban yang membuat jantung ini seolah dihantam godam berton-ton beratnya. Seketika hati saya berkabut. Saya sedih dan terenyuh dengan cita-citanya itu.

Tadinya saya menduga bahwa dia memimpikan profesi saya. Bahwa dia mengenal dan ingin menjadi seperti saya. Ada bangga menyelinap ketika pembicaraan itu berlangsung. Saya seolah menjadi model yang sempurna untuknya. Namun, sesungguhnya bukan itu yang menjadi alasan akan cita-citanya. Dia merindukan saya. Dia menginginkan kehadiran ibu dalam setiap saat waktu yang dilewatinya. Dia menginginkan kebersamaan itu.

Kemudian, dengan kapasitas berfikir anak usia 6 tahun, dia berusaha mencari jalan keluar atas keinginan yang belum didapatkannya. Dia tengah menyusun taktik. Dalam gambarannya, jika dia kelak menjalani profesi seperti ibu, maka dia tidak akan kehilangan kebersamaan dengan sosok yang dirindukannya itu.

Saya menangis haru atas cita-citanya itu. Jika mungkin saya boleh memilih, ingin rasanya menemaninya setiap saat, ingin menjadi orang pertama yang menyaksikan setiap perkembangannya, ingin mendampinginya dalam setiap kesempatan suka dan dukanya, ingin melewati kebersamaan lebih panjang lagi. Melewati setiap rangkaian peristiwa dengan kedekatan yang sesungguhnyapun saya merindukannya. Untuk saat itu saya membiarkan hati saya berduka. Saya mengakui akan kesedihan itu.

Bukan, bukan karena ingin meratapi nasib! Saya tidak tengah menyesali akan tugas yang tengah dijalani. Tugas yang telah menyita sebagian waktu kehidupan yang dimiliki. Saya hanya tengah ingin berdamai dengan kenyataan. Mencari cara agar hilang segala kesedihan, untuk kemudian berdamai dengan perasaan sendiri.

Walau bagaimanapun saya sangat yakin, ada potongan puzzle kehidupan yang harus diselesaikan satu persatu dengan sepenuh ikhlas.
Dan mungkin kini, sudah saatnya harus memiliki strategi untuk beranjak kepada potongan berikutnya.

Dan sekarang, saya tengah menyusun dan mewujudkan ‘ingin’ itu. Walaupun mungkin tak ideal seperti yang lainnya. Namun saya akan terus berdoa dan berusaha. Saya ingin selamat menyusun sisa rangkaian kehidupan yang saya miliki, yaitu melewati kebersamaan dengan penuh makna dan cinta dengan anak-anak tercinta itu.

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan yang ingin ngobrol atau berkomentar disini :

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More